29 July 2012

Posisi Telinga Saat Bertelepon dan Hubungannya Dengan Penyakit

       Jakarta - Hasil penelitian terbaru dari WHO mengungkapkan bahwa radiasi ponsel dapat menyebabkan kanker otak. Radiasi ponsel dikategorikan sama dengan zat karsinogenik berbahaya seperti timbal, asap knalpot, dan kloroform.

Hal tersebut diumumkan oleh organisasi kesehatan dunia, World Health Organization (WHO), seperti dikutip detik.com dari CNN, Rabu (1/6/2011).


   Sekedar membagi pengalaman saya saja. Saya menyadari hal ini ketika membaca artikel dari sebuah forum yang ternama, dan ketika itu pula saya berfikir secara logika ternyata benar juga. langsung saja saya jelaskan...



  • Kenapa bertelepon saja perlu diperhatikan? 

    Jelasnya seperti ini, saat keadaan normal atau biasanya kita berkomunikasi atau berbicara dengan otomatis kedua telingan kita ikut mendengarkan. Dengan kata lain otak kanan dan kiri kita bekerja secara bersama-sama sebelum kita membuat sebuah keputusan. 

  • Kenapa demikian? 

    Secara detailnya otak kanan dan kiri mempunya fungsi sendiri-sendiri yaitu terkait dengan logika dan juga perasaan.

  • Jadi apa hubungannya dengan posisi bertelepon?

  Kebanyakan orang saat bertelpon menggunakan telinga kanan, hal ini dilakukan tanpa kesadaran kita. Coba kita ingat-ingat dan bayangkan dahulu. 
Pada dasarnya telinga kanan berhubungan langsung dengan otak kiri kita yang berkaitan langsung dengan logika, dan segala keteraturan yang ada. Singkatnya kita seperti "dipaksa" untuk berfikir selama bertelpon. Hal ini yang menyebabkan kita "bosan" ketika bertelpon dalam durasi yang lama.
    Mulai sekarang kita coba meletakkan telpon pada telinga kiri. Rasakan perbedaannya, apakah ada perbedaan dari yang sebelumnya. Mungkin kita akan lebih lancar dalam melakukan komunikasi, pembicaraan jadi lebih mengalir dan lebih santai. 
Kalau masih ragu dengan hal itu, boleh membuktikan dengan memindahkan dari kanan ke kiri atau sebaliknya.




8 CARA UNTUK MENGURANGI BAHKAN MENANGKAL RADIASI PONSEL

  1. Gunakanlah headset :::  Inilah cara yang paling mudah untuk menangkal ancaman radiasi ponsel. Tentu saja, kita tidak bisa menolak untuk menerima panggilan telepon. Namun jika Anda masih khawatir, ada baiknya menggunakan headset. Intinya adalah telepon genggam Anda, tidak terlalu dekat dengan otak.  
  2. Speakerphone :::  Menggunakan speaker ketika bertelepon juga bisa menjadi pilihan. Namun tentu saja, ada rasa kurang nyaman ketika hal ini dilakukan di tempat publik. Tapi setidaknya, Anda tidak harus menempelkan ponsel di kepala ketika bertelepon. Jadi pilihan ini mungkin bisa digunakan ketika Anda tengah berada di tempat privat seperti di rumah.
  3. Sudut ruangan :::  Hindari menerima telepon di sudut ruangan. Sudut ruangan yang biasanya sepi namun di sisi lain terkadang juga menjadi tempat di mana sinyal telepon menjadi lemah. Nah, sinyal yang lemah justru dikatakan memicu radiasi yang lebih tinggi. Hal ini berlaku pula di area yang sempit/kecil seperti lift.
  4. Jangan selalu menempel :::  Ponsel yang Anda gunakan boleh saja menjadi gadget kesayangan, namun untuk kesehatan yang lebih baik, ada baiknya Anda jangan selalu nempel dengan ponsel tersebut. Ponsel yang tidak digunakan direkomendasikan ditaruh di tas atau di atas meja. Hal ini dikatakan lebih baik ketimbang ditempatkan di kantong celana.
  5. Diam saat Menelpon :::  Ketika menerima telepon sebaiknya Anda tidak berjalan-jalan. Pasalnya, dalam keadaan bergerak maka sinyal ponsel akan terus mencari pancaran sinyal yang kuat dari base transceiver station (BTS). Aktivitas ini justru akan menguatkan radiasi.
  6. Kurangi bluetooth dan headset wireless :::  Menggunakan headset bisa menjadi pilihan untuk mengurangi radiasi ponsel. Namun ingat, pilih headset yang konvensional alias yang masih menggunakan kabel untuk terhubung dengan ponsel. Jangan menggunakan headset wireless. Fitur bluetooth di ponsel juga jangan terus menerus diaktifkan, gunakan seperlunya.
  7. Casing penahan radiasi :::  Kekhawatiran radiasi ponsel belakangan memunculkan casing berkemampuan khusus yang diklaim bisa meminimalisir hantaran radiasi yang berasal dari ponsel. Jika dirasa diperlukan, mungkin Anda bisa mencarinya di pertokoan.
  8. Gunakan dua telinga :::  Hindari penggunaan satu bagian telinga ketika bertelepon. Misalnya, selalu menerima telepon dengan telinga bagian kiri saja. Menurut para ahli, hal ini justru tidak baik. Manfaatkan kedua telinga Anda untuk meminimalisir radiasi yang terpancar. Ini adalah cara untuk mengurangi salah satu otak kita bekerja belebihan.
    Semoga informasi diatas berguna untuk kita semua. Ini adalah pengalaman yang saya dapatkan sebelumnya. Mungkin saja anda mulai berfikir setelah membaca semua yang diatas, saat itu pula anda teringat hal-hal yang berkaitan dengan menelpon. Saya sendiri tidak tahu apakah anda semua mau menerepakan hal-hal yang ada diatas, kalau memang anda semua mengerti dan mulai menyadarinya boleh berkomentar dibawah, sebelum anda berkomentar boleh untuk membantu blog ini agar lebih maju dengan meng"klik" iklan yang ada diatas. Terimakasih sudah berkunjung disini.


15 July 2012

SKIZOAFEKTIF

DEFINISI

Suatu gangguan jiwa yang gejala skizofrenia dan gejala afektif terjadi bersamaan dan sama-sama menonjol.
 Onset yang tiba-tiba pada masa remaja
Fungsi pramorbid baik
Terdapat stresor yang jelas
Riwayat keluarga dan gangguan afektif.
 Prevalensi : ½ % lebih banyak pada wanita.

Berdasarkan national comorbidity study, didapatkan bahwa, 66 orang yang di diagnosa skizofrenia, 81% pernah didiagnosa gangguan afektif yang terdiri dari 59% depresi dan 22% gangguan bipolar. Dengan kata lain, depresi adalah komorbid tertinggi dari skizofrenia.




TIPE-TIPE SKIZOAFEKTIF

Beberapa Tipe Skizoafektif

} Gangguan Skizoafektif tipe Manik
} Gangguan Skizoafektif tipe Depresif
} Gangguan Skizoafektif tipe Campuran


penjelasan...

} 1. Gangguan Skizoafektif tipe Manik
- Disebut juga Manic Disorder
- Gangguan mood (suasana hati) yang mudah berubah-ubah (naik atau turun)
- Contoh : Ada suara musik, langsung joged-joged
- Biasanya tidak cerdas dalam perhitungan

} 2. Gangguan Skizoafektif tipe Depresif
- Termasuk dalam Major Depression
- Cirinya, jika berbicara tidak proporsional dan ke bawah

- Tipe : a. Agresif => Menyerang orang lain


b. Menyalahkan diri sendiri

- Keluhan :
* Sering tidak bisa tidur
* Tidak punya tenaga

} 3. Gangguan Skizoafektif tipe Campuran
- Merupakan gabungan dari Tipe Manic dan Depresi




DIAGNOSIS
Pedoman Diagnosis Gangguan Skizoafektif

} Gejala Skizofrenia dan gangguan afektif sama-sama menonjol atau dalam beberapa hari sesudah yang lain, tetapi dalam satu episode penyakit (tidak memenuhi kriteria diagnosis skizofrenia maupun gangguan afektif).


CARA PENANGANAN


1. Penanganan pasien gangguan skizoafektif meliputi :
- perawatan rumah sakit
- medikasi
- terapi psikososial


2. Farmakoterapi
} Gejala manik : antimanik
} Gejala depresi : antidepresan

Pasien dengan gangguan skizoafektif, tipe depresif, harus diberikan percobaan anti depresan dan terapi elektrokonvulsan (CT) sebelum mereka diputuskan tidak responsive terhadap terapi anti depresan.
} Gejala bipolar : antipsikotik. harus mendapatkan percobaan lithium, carbamazepine (Tegretol), valporate (Depakene), atau suatu kombinasi obat-obat tersebut jika satu obat saja tidak efektif


} 3. Psikoterapi

a. Psikoterapi suportif
Psikoterapi ini dapat dilakukan dengan bimbingan, reassurance, serta terapikelompok

b.Psikoterapi reedukatif
> Terhadap Pasien :
Memberikan informasi kepada pasien dan edukasi mengenai penyakit yang dideritanya, gejala-gejala, dampak, faktor-faktor penyebab, pengobatan, komplikasi, prognosis, dan risiko kekambuhan agar pasien tetap taat meminum obat dan segera datang ke dokter bila timbul gejala serupa di kemudian hari
} Memotivasi pasien untuk berobat teratur
} Mengajarkan terapi relaksasi pada pasien saat pasien marah ataupun akan marah sehingga diharapkan pasien dapat mengontrol marahnya dan mengemukakan amarahnya dengan cara yang lebih halus.


>Terhadap Keluarga :
} Memberikan edukasi dan informasi mengenai penyakit pasien, gejala, faktor- faktor pemicu, pengobatan, komplikasi, prognosis, dan risiko kekambuhan di kemudian hari.
} Menjelaskan kepada keluarga bahwa salah satu faktor pemicu penyakit pasien saat ini adalah keluarga pasien yang mengabaikan pasien
} Meminta keluarga untuk mendukung pasien pada saat-saat setelah sakit agar pasien dapat mengalami remisi.

c. Terapi kognitif perilaku
} Dilakukan untuk merubah keyakinan yang salah dari pasien dan memperbaiki distorsi kognitif


Peran Fisioterapi

} a. General rileksasi

} b. Rekreasi (AFR) : permainan misal puzzle

} c. Exercise : senam


Sumber : http://physioku.blogspot.com/2012/03/skizoafektif.html

KONSEP DASAR NYERI

Pengertian nyeri
Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007).
Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan

Fisiologi nyeri
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor,secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer.
Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa bagaian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda.
Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu :
a. Reseptor A delta
Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det) yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila penyebab nyeri dihilangkan
b. Serabut C
Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi
Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang terdapat pada tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga lainnya. Karena struktur reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi.
Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang timbul pada reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi.
Teori Pengontrolan nyeri (Gate control theory)
Terdapat berbagai teori yang berusaha menggambarkan bagaimana nosireseptor dapat menghasilkan rangsang nyeri. Sampai saat ini dikenal berbagai teori yang mencoba menjelaskan bagaimana nyeri dapat timbul, namun teori gerbang kendali nyeri dianggap paling relevan (Tamsuri, 2007)
Teori gate control dari Melzack dan Wall (1965) mengusulkan bahwa impuls nyeri dapat diatur atau dihambat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat. Teori ini mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan impuls dihambat saat sebuah pertahanan tertutup. Upaya menutup pertahanan tersebut merupakan dasar teori menghilangkan nyeri.
Suatu keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan serabut kontrol desenden dari otak mengatur proses pertahanan. Neuron delta-A dan C melepaskan substansi C melepaskan substansi P untuk mentranmisi impuls melalui mekanisme pertahanan. Selain itu, terdapat mekanoreseptor, neuron beta-A yang lebih tebal, yang lebih cepat yang melepaskan neurotransmiter penghambat. Apabila masukan yang dominan berasal dari serabut beta-A, maka akan menutup mekanisme pertahanan. Diyakini mekanisme penutupan ini dapat terlihat saat seorang perawat menggosok punggung klien dengan lembut. Pesan yang dihasilkan akan menstimulasi mekanoreseptor, apabila masukan yang dominan berasal dari serabut delta A dan serabut C, maka akan membuka pertahanan tersebut dan klien mempersepsikan sensasi nyeri. Bahkan jika impuls nyeri dihantarkan ke otak, terdapat pusat kortek yang lebih tinggi di otak yang memodifikasi nyeri. Alur saraf desenden melepaskan opiat endogen, seperti endorfin dan dinorfin, suatu pembunuh nyeri alami yang berasal dari tubuh.Neuromedulator ini menutup mekanisme pertahanan dengan menghambat pelepasan substansi P. tehnik distraksi, konseling dan pemberian plasebo merupakan upaya untuk melepaskan endorfin (Potter, 2005)
Respon Psikologis
respon psikologis sangat berkaitan dengan pemahaman klien terhadap nyeri yang terjadi atau arti nyeri bagi klien.
Arti nyeri bagi setiap individu berbeda-beda antara lain :
1) Bahaya atau merusak
2) Komplikasi seperti infeksi
3) Penyakit yang berulang
4) Penyakit baru
5) Penyakit yang fatal
6) Peningkatan ketidakmampuan
7) Kehilangan mobilitas
8) Menjadi tua
9) Sembuh
10) Perlu untuk penyembuhan
11) Hukuman untuk berdosa
12) Tantangan
13) Penghargaan terhadap penderitaan orang lain
14) Sesuatu yang harus ditoleransi
15) Bebas dari tanggung jawab yang tidak dikehendaki
Pemahaman dan pemberian arti nyeri sangat dipengaruhi tingkat pengetahuan, persepsi, pengalaman masa lalu dan juga faktor sosial budaya
Respon fisiologis terhadap nyeri
1) Stimulasi Simpatik:(nyeri ringan, moderat, dan superficial)
a) Dilatasi saluran bronkhial dan peningkatan respirasi rate
b) Peningkatan heart rate
c) Vasokonstriksi perifer, peningkatan BP
d) Peningkatan nilai gula darah
e) Diaphoresis
f) Peningkatan kekuatan otot
g) Dilatasi pupil
h) Penurunan motilitas GI
2) Stimulus Parasimpatik (nyeri berat dan dalam)
a) Muka pucat
b) Otot mengeras
c) Penurunan HR dan BP
d) Nafas cepat dan irreguler
e) Nausea dan vomitus
f) Kelelahan dan keletihan
Respon tingkah laku terhadap nyeri
1) Respon perilaku terhadap nyeri dapat mencakup:
2) Pernyataan verbal (Mengaduh, Menangis, Sesak Nafas, Mendengkur)
3) Ekspresi wajah (Meringis, Menggeletukkan gigi, Menggigit bibir)
4) Gerakan tubuh (Gelisah, Imobilisasi, Ketegangan otot, peningkatan gerakan jari & tangan
5) Kontak dengan orang lain/interaksi sosial (Menghindari percakapan, Menghindari kontak sosial, Penurunan rentang perhatian, Fokus pd aktivitas menghilangkan nyeri)
Individu yang mengalami nyeri dengan awitan mendadak dapat bereaksi sangat berbeda terhadap nyeri yang berlangsung selama beberapa menit atau menjadi kronis. Nyeri dapat menyebabkan keletihan dan membuat individu terlalu letih untuk merintih atau menangis. Pasien dapat tidur, bahkan dengan nyeri hebat. Pasien dapat tampak rileks dan terlibat dalam aktivitas karena menjadi mahir dalam mengalihkan perhatian terhadap nyeri.
Meinhart & McCaffery mendiskripsikan 3 fase pengalaman nyeri:
1) Fase antisipasi (terjadi sebelum nyeri diterima)
Fase ini mungkin bukan merupakan fase yg paling penting, karena fase ini bisa mempengaruhi dua fase lain. Pada fase ini memungkinkan seseorang belajar tentang nyeri dan upaya untuk menghilangkan nyeri tersebut. Peran perawat dalam fase ini sangat penting, terutama dalam memberikan informasi pada klien.
2) Fase sensasi (terjadi saat nyeri terasa)
Fase ini terjadi ketika klien merasakan nyeri. karena nyeri itu bersifat subyektif, maka tiap orang dalam menyikapi nyeri juga berbeda-beda. Toleraransi terhadap nyeri juga akan berbeda antara satu orang dengan orang lain. orang yang mempunyai tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri tidak akan mengeluh nyeri dengan stimulus kecil, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah akan mudah merasa nyeri dengan stimulus nyeri kecil. Klien dengan tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri mampu menahan nyeri tanpa bantuan, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah sudah mencari upaya mencegah nyeri, sebelum nyeri datang.
Keberadaan enkefalin dan endorfin membantu menjelaskan bagaimana orang yang berbeda merasakan tingkat nyeri dari stimulus yang sama. Kadar endorfin berbeda tiap individu, individu dengan endorfin tinggi sedikit merasakan nyeri dan individu dengan sedikit endorfin merasakan nyeri lebih besar.
Klien bisa mengungkapkan nyerinya dengan berbagai jalan, mulai dari ekspresi wajah, vokalisasi dan gerakan tubuh. Ekspresi yang ditunjukan klien itulah yang digunakan perawat untuk mengenali pola perilaku yang menunjukkan nyeri. Perawat harus melakukan pengkajian secara teliti apabila klien sedikit mengekspresikan nyerinya, karena belum tentu orang yang tidak mengekspresikan nyeri itu tidak mengalami nyeri. Kasus-kasus seperti itu tentunya membutuhkan bantuan perawat untuk membantu klien mengkomunikasikan nyeri secara efektif.
3) Fase akibat (terjadi ketika nyeri berkurang atau berhenti)
Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang. Pada fase ini klien masih membutuhkan kontrol dari perawat, karena nyeri bersifat krisis, sehingga dimungkinkan klien mengalami gejala sisa pasca nyeri. Apabila klien mengalami episode nyeri berulang, maka respon akibat (aftermath)dapat menjadi masalah kesehatan yang berat. Perawat berperan dalam membantu memperoleh kontrol diri untuk meminimalkan rasa takut akan kemungkinan nyeri berulang.
Faktor yang mempengaruhi respon nyeri
1) Usia
Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung memendam nyeri yang dialami, karena mereka mengangnggap nyeri adalah hal alamiah yang harus dijalani dan mereka takut kalau mengalami penyakit berat atau meninggal jika nyeri diperiksakan.
2) Jenis kelamin
Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wnita tidak berbeda secara signifikan dalam merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor budaya (ex: tidak pantas kalo laki-laki mengeluh nyeri, wanita boleh mengeluh nyeri).
3) Kultur
Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon terhadap nyeri misalnya seperti suatu daerah menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang harus diterima karena mereka melakukan kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika ada nyeri.
4) Makna nyeri
Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang terhadap nyeri dan dan bagaimana mengatasinya.
5) Perhatian
Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Menurut Gill (1990), perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya distraksi dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. Tehnik relaksasi, guided imagery merupakan tehnik untuk mengatasi nyeri.
6) Ansietas
Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan seseorang cemas.
7) Pengalaman masa lalu
Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat ini nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya. Mudah tidaknya seseorang mengatasi nyeri tergantung pengalaman di masa lalu dalam mengatasi nyeri.
8) Pola koping
Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan sebaliknya pola koping yang maladaptive akan menyulitkan seseorang mengatasi nyeri.
9) Support keluarga dan sosial
Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan dan perlindungan
Intensitas Nyeri
Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dengan tehnik ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2007).
Menurut smeltzer, S.C bare B.G (2002) adalah sebagai berikut :
1) skala intensitas nyeri deskritifskala intensitas nyeri deskritif
2) Skala identitas nyeri numerik
Skala identitas nyeri numerik
3) Skala analog visual
Skala analog visual
4) Skala nyeri menurut bourbanis
Skala nyeri menurut bourbanis
Keterangan :
0 :Tidak nyeri
1-3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi
dengan baik.
4-6 : Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis,
menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik.
7-9 : Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat
mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi
10 : Nyeri sangat berat : Pasien sudah tidak mampu lagi
berkomunikasi, memukul.
Karakteristik paling subyektif pada nyeri adlah tingkat keparahan atau intensitas nyeri tersebut. Klien seringkali diminta untuk mendeskripsikan nyeri sebagai yang ringan, sedang atau parah. Namun, makna istilah-istilah ini berbeda bagi perawat dan klien. Dari waktu ke waktu informasi jenis ini juga sulit untuk dipastikan.
Skala deskritif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih obyektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS) merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis. Pendeskripsi ini diranking dari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang tidak tertahankan”. Perawat menunjukkan klien skala tersebut dan meminta klien untuk memilih intensitas nyeri trbaru yang ia rasakan. Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri terasa paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak menyakitkan. Alat VDS ini memungkinkan klien memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan nyeri. Skala penilaian numerik (Numerical rating scales, NRS) lebih digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik. Apabila digunakan skala untuk menilai nyeri, maka direkomendasikan patokan 10 cm (AHCPR, 1992).
Skala analog visual (Visual analog scale, VAS) tidak melebel subdivisi. VAS adalah suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi klien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat merupakan pengukuran keparahan nyeri yang lebih sensitif karena klien dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa memilih satu kata atau satu angka (Potter, 2005).
Skala nyeri harus dirancang sehingga skala tersebut mudah digunakan dan tidak mengkomsumsi banyak waktu saat klien melengkapinya. Apabila klien dapat membaca dan memahami skala, maka deskripsi nyeri akan lebih akurat. Skala deskritif bermanfaat bukan saja dalam upaya mengkaji tingkat keparahan nyeri, tapi juga, mengevaluasi perubahan kondisi klien. Perawat dapat menggunakan setelah terapi atau saat gejala menjadi lebih memburuk atau menilai apakah nyeri mengalami penurunan atau peningkatan (Potter, 2005).

sumber
Priharjo, R (1993). Perawatan Nyeri, pemenuhan aktivitas istirahat. Jakarta : EGC hal : 87.
Shone, N. (1995). Berhasil Mengatasi Nyeri. Jakarta : Arcan. Hlm : 76-80
Ramali. A. (2000). Kamus Kedokteran : Arti dan Keterangan Istilah. Jakarta : Djambatan.
Syaifuddin. (1997). Anatomi fisiologi untuk siswa perawat.edisi-2. Jakarta : EGC. Hlm : 123-136.
Tamsuri, A. (2007). Konsep dan penatalaksanaan nyeri. Jakarta : EGC. Hlm 1-63
Potter. (2005). Fundamental Keperawatan Konsep, Proses dan Praktik. Jakarta: EGC. Hlm 1502-1533.